DESA CIPAKU
Makam kramat Ki Buyut Sawala termasuk cagar budaya. Statusnya dilindungi dengan Undang-Undang No. 519 tentang pelestarian cagar budaya. Makam ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama yaitu makam Mbah Buyut Bungsu atau Eyang Sawala Sawali, bagian dua di bawahnya makam Nyi Mas Ratu Undansari dan Nyi Mas Ratu Mayangsari.
Makam ini dirawat oleh seorang Kuncen atau juru pelihara. Namanya A. Budiman, warga Cipaku. Juru pelihara bertugas merawat atau membersihkan pusara Mbah Buyut Bungsu. Pusara ini banyak dikunjungi oleh orang-orang luar Kadipaten. Mereka kebanyakan datang dari Bandung, Garut, dan Sumedang. Rata-rata mereka menginap di makam ini sambil menjalankan ritual keagamaan. Ada ruangan khusus untuk shalat dan dzikir.
Makam Mbah Buyut Sawala pada awalnya merupakan tempat "nyawala" yang berarti tempat bermusyawarah. Yang bermusyawarah di sini adalah golongan para aulia. Segala persoalan penting dibahas di tempat ini. Termasuk waktu terjadi wabah di desa Jatiraga (Kadipaten) akibat kekuatan 'teluh jampe' 1) seorang warga. Teluh jampe ini menyebabkan seluruh warga Jatiraga terserang wabah. Lalu para aulia yang terdiri atas Mbah Ki Buyut Bungsu, Mbah Buyut Bekel, dan Mbah Buyut Sarjiah bermufakat di sini.
Warga Jatiraga akhirnya sembuh dari wabah tersebut atas pengobatan Mbah Buyut Bungsu. Mbah Buyut Bungsu yang merupakan orang pertama penganut Islam di Kadipaten diriwayatkan memiliki kekuatan magis. Ia diberi kekuatan mampu terbang dengan menggunakan "barangbang kalapa". Barangbang kalapa adalah dahan pohon kelapa yang sudah mengering.
Mbah Buyut Bungsu selalu bepergian ke Cirebon menggunakan barangbang kelapa. Ia mampu terbang dengan menggunakan mantra bismillahirrahmanirrahim. Ada perbedaan pengucapan lafadz basmalah tersebut. Lafadz basmalah yang baku digunakan adalah bismillahirahmanirrahim. Menurut A. Budiman, Mbah Buyut Bungsu memang menggunakan lafadz basmalah yang berbeda untuk mantranya.
Mbah Buyut Bungsu juga dikenal sebagai orang yang membabak atau merintis lahirnya kota Kadipaten. Ia membabak hutan untuk dijadikan lahan permukiman. (Lihat: Sejarah desa Karangsambung)
Mbah Buyut Sawala berjasa menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Kadipaten yang waktu itu meliputi daerah Kadipaten, Panyingkiran, Kertajati, dan Dawuan.
Sebagai penghormatan, setelah wafat Mbah Buyut Bungsu dimakamkan persis di tempat ia terbiasa duduk bermusyawarah. Ia diberi nama kehormatan Ki Buyut Sawala yang artinya ahli mufakat.
Kini nama Sawala diabadikan menjadi nama taman makam sawala, dan gedung DPRD "BHINEKA YUDHA SAWALA". Sawala menjadi nama yang sakral di kalangan masyarakat Majalengka. Sawala mengandung nilai yang amat penting.
Makam Kramat Buyut Sawala menjadi aset penting bagi Desa Cipaku. Meskipun cagar budaya ini tidak menghasilkan keuntungan materil bagi desa Cipaku, namun Makam Kramat Buyut Sawala menjadi sisi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Cipaku.
Desa Cipaku memiliki keterkaitan dengan Desa Heuleut. Cipaku dahulunya merupakan cantilan Desa Heuleut. Sebagian besar wilayahnya merupakan lahan tegalan yang tak bisa ditanami. Sehingga mengakibatkan warga di Desa Cipaku mengalami ketertinggalan dalam bidang agribisnis. Infertibilitas tanah di Cipaku menyebabkan masyarakat Cipaku merasa kesulitan bercocok tanam.
Menurut Emed Casmad, Kuwu Desa Cipaku, tak kurang dari seratus hektar atau sepertiga tanah di wilayah Desa Cipaku adalah milik Balai Diklat Kehutanan. Tanah tersebut sepenuhnya merupakan lahan hutan jati (tectonia grandis), dann mahoni (mahogany).
Dahulu kawasan hutan ini adalah tempat yang "angker". Sebelum dibangunnya terminal Cideres, kawasan hutan Cipaku merupakan daerah yang sangat sepi. Di kalangan masyarakat setempat muncul sebuah mitos atau kepercayaan. Bilamana ada orang yang lewat hutan jati Cipaku maka orang tersebut harus melemparkan uang.
Mitos ini diketahui oleh orang-orang luar Majalengka. Penulis masih ingat ketika tahun 1970. Ketika bis melintasi daerah hutan jati Cipaku (sekarang sekitar terminal Cideres) ada beberapa penumpang melemparkan selembar uang kertas atau sekeping uang logam ke arah hutan.
Tradisi lempar uang tersebut diyakini sebagai alat untuk mencegah marabahaya karena pada waktu itu muncul keyakinan kalau tidak melempar uang maka dikhawatirkan perjalanan tidak akan mulus atau akan mengalami kecelakaan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mitos itu lambat laun sirna. Kini tidak ada lagi tradisi lempar uang di kawasan hutan jati tersebut.
Nama Desa Cipaku sebenarnya merupakan frasa yang berasal dari tiga kata. Cideres, Pancurendang, dan ?. Sekarang merupakan Blok Cideres, Babakan Pancurendang, dan Blok ?.
Desa Cipaku adalah desa yang paling tertinggal di antara 7 desa di wilayah Kecamatan Kadipaten. Selain jumlah penduduknya yang hanya tak lebih daro 2.000 jiwa, sarana dan prasarananya pun masih terbilang sangat terbatas.
Yang ada aj dulu ea gan... Hehe :D
Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar