Jumat, 01 Februari 2013


DESA LIANGJULANG

Desa Liangjulang ada sejak abad ke- 12. Desa ini awalnya menginduk ke Desa Karangsambung atas perintah Demang Karangsambung yang berkuasa di Karangsambung. Alasannya agar hubungan komunikasi lebih baik tapi terbentur jarak. Maklum pada waktu, antara Karangsambung dengan Liangjulang terasa jauh. Maka warga Liangjulang diminta pindah ke Jatiraga.
Warga Liangjulang setidaknya harus rela menyerahkan upeti yang dikenal dengan istilah Susuk Gendung. Susuk Gendung berupa hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada Sang Demang.
Setelah warga Liangjulang berkembang banyak, maka mereka banyak yang kembali ke tempat asal. Mereka mengusulkan agar statusnya dipisahkan. Selama waktu tersebut mereka dianggap warga desa (Kademangan) Jatiraga.
Usulan mereka direspon baik para sesepuh mereka seperti Mbah Buyut Sipah, Mbah Buyut Sanu, Mbah Buyut Sijan, Mbah Buyut Wira dan Mbah Buyut Jami. Mereka bermusyawarah untuk menuntut hak otonomi kepada Demang Karasambung.
Selain menuntut hak otonomi, tokoh warga Liangjulang juga mencari-cari nama bagi desanya yang akan dimerdekakan dari Karasambung. Untuk mempercepat proses otonomi, maka ditunjuklah Mbah Buyut Sanu sebagai pemimpin desa.
Sejumlah tokoh masyarakat diundang pada musyawarah berikutnya. Segala masukan ditampung oleh Mbah Buyut Sanu. Topik yang lebih alot dibahas adalah pemberian nama desa. Pada saat itu memberi nama untuk satu desa tidak mudah. Pada waktu memberi nama selalu dikaitkan dengan kayakinan-keyakinan, unsur magis dan ghaib, serta dihubungkan hal-hal lainnya, sehingga untuk memberi nama pada dasarnya sendiri dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Lahirnya nama Desa Liangjulang sendiri bukan menurut rancangan atau gagasan dalam beberapa musyawarah. Nama Liangjulang lahir tanpa sengaja.
Ketika para tokoh berkumpul di suatu tempat, muncul seekor burung Julang hinggap disebuah tebing tak jauh dari lokasi musyarah. Burung Julang itu membuat lubang (Bhs. Sunda = liang). Maka lahirlah istilah Liangjulang.
Desa Liangjulang akhirnya lepas dari kekuasaan Demang Karangsambung. Mbah Buyut Sanu resmi menjadi "Demang" baru. Lingjulang juga terlepas dari pengaruh Jatiraga. Wilayah Lingjulang mencakup Doar, Pakauman, Bantarnagara, Omas dan Lapangsari.
Kehidupan Liangjulang berjalan sebagaimana mestinya sebagai sebuah desa pada umumnya. Masyarakatnya hidup rukun dan damai. Sampai akhirnya di zaman penjajahan Belanda, Liangjulang dijadikant tempat medan perang pasukan Ki Bagus Rangin melawan serdadu Belanda. Pertempuran pasukan Ki Bagus Rangin berlangsung sengit. Sungai Cimanuk dan belantara Liangjulang jadi saksi abadi pejuang-pejuang yang gugur dalam perang tersebut.
Baru pada tahun 1851, atas kebijakan pemerintag daerah provinsi Djawa Barat, Liangjulang menjadi satu atap pemerintahan dengan Desa Jatiraga. Wilayah Jatiraga mencakup kampung Teluk Jambe, Cihaliwung, Jatiraga, Jombol, dan Babakan Cikempar.
Akan tetapi, Desa Liangjulang mengalami pertambahan penduduk yang cukup banyak, sehingga pada tahun 1981 Desa Liangjulang dimekarkan menjadi dua desa, yakni Desa Langjulang dan Desa Kadipaten.
Setelah dimekarkan, Desa Liangjulang dipimpin oleh Kuwu E. Kartama (1982). Lalu oleh Aman Gandaharjana, M. Radi, Rosad Hidayat, Juhi Sutisna, Oo Hudori Mulyono, dan Lili Kusnali (Pjs). Lili Kusnali adalah Juru Tulis yang menggantikan Oo Hudori Mulyono yang meninggal pada saat memangku jabatan Kuwu.
Kini Desa Liangjulang terdiri atas 13 Blok atau Dusun, yaitu Blok Liangjulang (Rw 01), Jamiasih (02), Kamun (03), Doar Selatan (04), Doar Utara (05), Pakauman (06), Bantarnagara (07), Omas (08), Dukuh Domba (09), Putat Barat (10), Putat Timur (11), Dukuh Huma (11), dan Blok Lapangsari (13).
Jumlah penduduk Desa Liangjulang mencapai 9.505 jiwa. Terdiri atas 4.686 laki-laki dan 4.899 perempuan. Data ini diambil dari hasil sensus 2003. berarti ada selisih yang cukup signifikan dari jumlah penduduk Desa Liangjulang menempati urutan ke-2 terbesar Se-Wilayah Kecamatan Kadipaten setelah Kadipaten (11.362 jiwa).
Sebagai desa tertua di Majalengka, Desa Liangjulang memiliki asset penting seperti industri bola sepak internasional PT. Sinjagraga Santika Sport (Tripple - S) milik pengusaha H. Muhammad Irwan Suryanto bersama istrinya Hj. Pepen Supartini, Tripple - S memproduksi puluhan ribu buah bola setiap bulannya. Bola sepak buatan Liangjulang ini pernah menjadi bola sepak resmi Piala Dunia 2002 Korea Selatan dan Piala Dunia 2006 Jerman.
Di Blok Doar Selatan juga terdapat perusahaan rokok terkenal yang membuka gudang distribusinya. Secara tidak langsung warga Desa Liangjulang diuntungkan oleh perusahaan ini karena ia bersedia menjadi sponsor dibeberapa kegiatan warga Liangjulang.
Desa ini juga menjadi pusat perdagangan terbesar di Majalengka dengan adanya Toserba "SURYA" dan Rajawali Regency fasilitas perniagaan dan permukiman ini juga dilengkapi dengan sarana rekreasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar